Sampai saat ini belum ada data penelitian secara nasional mengenai analisis dan dampak kemiskinan terhadap lembaga perkawinan dan keluarga. Namun kenyataan yang kita saksikan, bergelanggang mata orang banyakan bahwa dampak kemiskinan telah melampaui batas toleransi kemanusiaan.
Fenomena sosial yang memiliki korelasi dengan kemiskinan, seperti anak bunuh diri, ibu bunuh anak karena stress dan kemelaratan, ibu hamil dan anaknya meninggal akibat kelaparan, pekerja anak di bawah umur, kasus-kasus "trafficking" atau perdagangan perempuan dan anak, fenomena anak jalanan, anak putus sekolah, dan remaja yang terjerumus ke dalam maksiat, belakangan ini terus bertambah.
Selain itu, tidak sedikit keluarga yang pecah karena masalah ekonomi dan beratnya beban kehidupan. Kekerasan dalam rumah tangga juga banyak dipicu oleh persoalan kemiskinan. Kasus perceraian meningkat secara drastis sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi. Suami dan istri hidup terpisah karena sulitnya mendapatkan penghasilan, sementara hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dalam keluarga yang utuh terabaikan, telah menjadi fenomena sehari-hari yang tidak asing lagi dalam masyarakat kita.
Mengenai fenomena perceraian, dalam tiga tahun terakhir angka perceraian di negara kita meningkat secara drastis dari sebelumnya hanya berkisar 20.000 kasus setiap tahun kini menjadi 200.000 kasus tiap tahun, dari sekitar 2 juta pernikahan dalam setahun. Kasus gugat cerai dari pihak istri banyak terjadi disebabkan suami selaku kepala keluarga tidak sanggup memberi nafkah keluarga. Tingginya angka perceraian tidak boleh dianggap fenomena yang wajar di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kehidupan beragama.
Perceraian yang dilakukan karena kemelut ekonomi seringkali bukan menyelesaikan masalah, tapi malah memperparah masalah yang ada. Perceraian pada keluarga miskin melahirkan janda dan duda miskin dengan hari depan yang suram. Anak-anak dari orang tua yang bercerai luntang lantung tanpa pendidikan dan persiapan untuk hidup terhormat di tengah masyarakat.
Secara lebih luas kemiskinan keluarga berdampak terhadap rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak, buruknya gizi keluarga, terpuruknya kualitas sumber daya manusia (SDM), lemahnya penghayatan nilai-nilai agama dan akhlak mulia, serta keterbelakangan keluarga ketika mesti berhadapan dengan modernisasi.
Begitulah realita yang ada di sekitar kita. Bukan mengajak kita untuk pesimis, tapi ini adalah permasalahan umat yang harus diselesaikan. Tidak mungkin mengatasi suatu permasalahan yang ditutupi-tutupi atau disikapi secara tidak proporsional.
Zakat yang dikelola melalui lembaga adalah sumber dana yang dapat digunakan sebagai katup pengaman terhadap masalah ekonomi yang mengancam keutuhan keluarga. Islam juga menetapkan kewajiban membantu kerabat yang miskin, sebelum sampai pada tahap seseorang wajib dibantu dengan dana zakat. Berbagai kasus yang menimpa keluarga miskin di tanah air akan bisa diminimalisir sekiranya dilakukan langkah preventif dan pertolongan sebelum terlambat.
Menyelamatkan sebuah keluarga pada hakikatnya menyelamatkan sebuah generasi. Membiarkan tercerai berai sebuah keluarga berarti menyia-nyiakan satu generasi dalam keluarga tersebut. Salah satu upaya untuk menyelamatkan satu generasi dalam keluarga adalah memperbaiki ekonomi dan kesejahteraan.
Dr. Yusuf Qardhawi dalam buku Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan (1995) menyatakan, Kemiskinan merupakan ancaman terhadap keluarga, baik dalam segi pembentukan, kelangsungan, maupun keharmonisannya. Dari segi pembentukan keluarga, kemiskinan merupakan salah satu rintangan besar bagi para pemuda untuk melangsungkan pernikahan. Selain itu, betapa tekanan kemiskinan kadang-kadang mengalahkan nilai-nilai moral. Ia dapat memisahkan seorang suami dengan istrinya. Kemiskinan bisa merenggangkan hubungan antar anggota suatu keluarga, bahkan kadang-kadang memutuskan tali kasih sayang di antara mereka.
Untuk itu mari kita dayagunakan zakat sebagai penyelamat keluarga secara totalitas. Penyaluran dana zakat untuk membantu keluarga miskin, keluarga yang ditinggal suami atau ayah, keluarga lanjut usia tanpa penyangga ekonomi, keluarga terjerat hutang, atau tulang punggung pencari nafkah keluarga tiba-tiba kehilangan pekerjaan (misalnya PHK), memiliki manfaat sosial yang sangat besar. Standar bantuan yang diberikan adalah standar kelayakan hidup sesuai kondisi sekarang.
Dalam riwayat sahabat sebagaimana diutarakan Yusuf Qardhawi dalam buku yang disebut di atas, bahwa Khalifah Umar bin Khattab memberikan zakat kepada orang miskin sampai ia berkecukupan. Pernah datang kepada Umar r.a. seorang lelaki mengadukan nasibnya sengsara. Umar lalu memberikan tiga ekor unta untuk mengentaskannya dari kemiskinan. Saat itu, unta dianggap harta paling berharga dan bermanfaat. Umar memerintahkan kepada pegawainya, Berikanlah lagi zakat kepada mereka yang berhak walau pun salah seorang dari mereka telah menghabiskan seratus ekor unta.
Mengenai ukuran zakat yang diberikan kepada mustahik, para ulama fiqih mengenal dua pendapat. Pendapat pertama, memberikan zakat kepada orang miskin untuk menutupi kebutuhan sepanjang umur dengan satu kali pemberian. Pendapat kedua, memberikan zakat kepada orang miskin cukup untuk kebutuhan satu tahun. Intinya adalah zakat yang diberikan dalam jumlah yang memungkinkan mustahik terangkat ke tingkat yang kehidupan yang layak.
Upaya menyelamatkan keluarga miskin dengan penyaluran dana zakat, secara praktis terkait dengan konsep penguatan individu. Penguatan individu berdampak pada penguatan masyarakat. Penguatan masyarakat melahirkan penguatan negara. Saya teringat ungkapan almarhum Prof. Dr. H.A. Mukti Ali (mantan Menteri Agama 1971-1978) menyatakan; Bagaimana caranya membangun negara yang kuat? Bangunlah rumah tangga yang kuat. Bagaimana caranya membangun negara yang makmur? Bangunlah rumah tangga yang makmur. Bagaimana caranya membangun negara yang bahagia? Bangunlah rumah tangga yang bahagia.
* Sumber dari Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS dan tim asistensi naskah Menteri Agama.
Selain itu, tidak sedikit keluarga yang pecah karena masalah ekonomi dan beratnya beban kehidupan. Kekerasan dalam rumah tangga juga banyak dipicu oleh persoalan kemiskinan. Kasus perceraian meningkat secara drastis sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi. Suami dan istri hidup terpisah karena sulitnya mendapatkan penghasilan, sementara hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dalam keluarga yang utuh terabaikan, telah menjadi fenomena sehari-hari yang tidak asing lagi dalam masyarakat kita.
Mengenai fenomena perceraian, dalam tiga tahun terakhir angka perceraian di negara kita meningkat secara drastis dari sebelumnya hanya berkisar 20.000 kasus setiap tahun kini menjadi 200.000 kasus tiap tahun, dari sekitar 2 juta pernikahan dalam setahun. Kasus gugat cerai dari pihak istri banyak terjadi disebabkan suami selaku kepala keluarga tidak sanggup memberi nafkah keluarga. Tingginya angka perceraian tidak boleh dianggap fenomena yang wajar di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kehidupan beragama.
Perceraian yang dilakukan karena kemelut ekonomi seringkali bukan menyelesaikan masalah, tapi malah memperparah masalah yang ada. Perceraian pada keluarga miskin melahirkan janda dan duda miskin dengan hari depan yang suram. Anak-anak dari orang tua yang bercerai luntang lantung tanpa pendidikan dan persiapan untuk hidup terhormat di tengah masyarakat.
Secara lebih luas kemiskinan keluarga berdampak terhadap rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak, buruknya gizi keluarga, terpuruknya kualitas sumber daya manusia (SDM), lemahnya penghayatan nilai-nilai agama dan akhlak mulia, serta keterbelakangan keluarga ketika mesti berhadapan dengan modernisasi.
Begitulah realita yang ada di sekitar kita. Bukan mengajak kita untuk pesimis, tapi ini adalah permasalahan umat yang harus diselesaikan. Tidak mungkin mengatasi suatu permasalahan yang ditutupi-tutupi atau disikapi secara tidak proporsional.
Zakat yang dikelola melalui lembaga adalah sumber dana yang dapat digunakan sebagai katup pengaman terhadap masalah ekonomi yang mengancam keutuhan keluarga. Islam juga menetapkan kewajiban membantu kerabat yang miskin, sebelum sampai pada tahap seseorang wajib dibantu dengan dana zakat. Berbagai kasus yang menimpa keluarga miskin di tanah air akan bisa diminimalisir sekiranya dilakukan langkah preventif dan pertolongan sebelum terlambat.
Menyelamatkan sebuah keluarga pada hakikatnya menyelamatkan sebuah generasi. Membiarkan tercerai berai sebuah keluarga berarti menyia-nyiakan satu generasi dalam keluarga tersebut. Salah satu upaya untuk menyelamatkan satu generasi dalam keluarga adalah memperbaiki ekonomi dan kesejahteraan.
Dr. Yusuf Qardhawi dalam buku Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan (1995) menyatakan, Kemiskinan merupakan ancaman terhadap keluarga, baik dalam segi pembentukan, kelangsungan, maupun keharmonisannya. Dari segi pembentukan keluarga, kemiskinan merupakan salah satu rintangan besar bagi para pemuda untuk melangsungkan pernikahan. Selain itu, betapa tekanan kemiskinan kadang-kadang mengalahkan nilai-nilai moral. Ia dapat memisahkan seorang suami dengan istrinya. Kemiskinan bisa merenggangkan hubungan antar anggota suatu keluarga, bahkan kadang-kadang memutuskan tali kasih sayang di antara mereka.
Untuk itu mari kita dayagunakan zakat sebagai penyelamat keluarga secara totalitas. Penyaluran dana zakat untuk membantu keluarga miskin, keluarga yang ditinggal suami atau ayah, keluarga lanjut usia tanpa penyangga ekonomi, keluarga terjerat hutang, atau tulang punggung pencari nafkah keluarga tiba-tiba kehilangan pekerjaan (misalnya PHK), memiliki manfaat sosial yang sangat besar. Standar bantuan yang diberikan adalah standar kelayakan hidup sesuai kondisi sekarang.
Dalam riwayat sahabat sebagaimana diutarakan Yusuf Qardhawi dalam buku yang disebut di atas, bahwa Khalifah Umar bin Khattab memberikan zakat kepada orang miskin sampai ia berkecukupan. Pernah datang kepada Umar r.a. seorang lelaki mengadukan nasibnya sengsara. Umar lalu memberikan tiga ekor unta untuk mengentaskannya dari kemiskinan. Saat itu, unta dianggap harta paling berharga dan bermanfaat. Umar memerintahkan kepada pegawainya, Berikanlah lagi zakat kepada mereka yang berhak walau pun salah seorang dari mereka telah menghabiskan seratus ekor unta.
Mengenai ukuran zakat yang diberikan kepada mustahik, para ulama fiqih mengenal dua pendapat. Pendapat pertama, memberikan zakat kepada orang miskin untuk menutupi kebutuhan sepanjang umur dengan satu kali pemberian. Pendapat kedua, memberikan zakat kepada orang miskin cukup untuk kebutuhan satu tahun. Intinya adalah zakat yang diberikan dalam jumlah yang memungkinkan mustahik terangkat ke tingkat yang kehidupan yang layak.
Upaya menyelamatkan keluarga miskin dengan penyaluran dana zakat, secara praktis terkait dengan konsep penguatan individu. Penguatan individu berdampak pada penguatan masyarakat. Penguatan masyarakat melahirkan penguatan negara. Saya teringat ungkapan almarhum Prof. Dr. H.A. Mukti Ali (mantan Menteri Agama 1971-1978) menyatakan; Bagaimana caranya membangun negara yang kuat? Bangunlah rumah tangga yang kuat. Bagaimana caranya membangun negara yang makmur? Bangunlah rumah tangga yang makmur. Bagaimana caranya membangun negara yang bahagia? Bangunlah rumah tangga yang bahagia.
* Sumber dari Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS dan tim asistensi naskah Menteri Agama.